Jerit Anak Negeri
Karya: Rey Seniman Langit
Pospor cinta menggugah poso memaket bunga sebuah wayang tertunjuk potehi. Tentu ! bertahun-tahun sudah menemani hari yang kian berponi, mengandamnya dengan rapi, meriasnya semewah rangkaian bunga-bunga ditaman. Ketap-ketip sebuah film berselaput negative tercuci cerita bioskop nyata tangisan kemiskinan, tergambar semat pinda pinggal ajaib. Citanya halus, namun sebeberapa mulus terfikir akal dan budi membuat sikap semakin acak merangkai cerna, sebagai lambang suatu bingkisan, terlihat berlomba dibelakang layar.
Pepatah petitih sebagai petinggi hingga gunung itu terbalik.
Tak murni lagi !
Jerit Anak negeri,
ketika sesah mencari dahan, ketika sesah mencari tempat berlindung apalagi tempat berteduh sebagai sandingan batu loncatan satu kebahagiaan yang dicita-citakan.
"Rey, terkuncir siang ini dengan peluh rasa yang jauh berbeda, semakin hari-semakin melow !." Ungkap nya setelah pulang dari masjid.
Ceritaku terbentang angin surga yang telah merapat selalu ke-elokannya, telah kulihat beberapa ajudan bumi, yang terjelma, rakyat miskin sebagai musafir peminta-minta, dan aku sempatkan bertanya pada salah satunya.
"Hellow !." lambaiku pada seorang gadis kecil"Adik, ngapain disini, kok tidak sekolah ! apa sudah pulang kah ?." Tanyaku sembari duduk disebelah pondasi tempat ia duduk di pinggir rumah.
"Tidak kak ! aku tidak sekolah, karena aku harus cari uang !." Jawabnya
"Aih, kok masih kecil gini dik, betapa tega orang tuamu menyuruhmu mencari uang." Balasku kembali bertanya pada sosok paras yang kusam.
"Sekarang adik tinggal dimana, dan kenapa sampai nyasar ke sini,apa rumahmu dekat sekitar sini.!"
"Benar kak, tepatnya dikampung sebelah, aku tinggal sebatang kara kak, tiada orang tua, ataupun sanak saudara. Dulu aku masih sempat ditimang nenek, namun ia sudah meninggal saat ini, tiada lagi tempat sandingku, dan hanya ini perjuanganku." Rangkumnya, yang sempat mengharukan biru, dibawah kelopak mataku berkedip.
"Aih,,,adik sudah makan belum ? , kakak antar pulang kerumah ya, sapa tau nanti esok-esok hari, kakak tengok adik sedang apa, dan mampir cicipi secangkir kopi buatan-mu sayang !." Tawarku bermaksud untuk berbaik hati.
"Belum kak, adik udah satu hari belum makan, biasanya sudah dikasih oleh tetangga aku disebelah, namun beliau sedang pergi keluar kota." Jawabnya , sosok manja yang seharusnya masih menikmati kasih sayang ibu bapaknya.
"Yaa Allah, ya sudah dik, mari ikut kk ya, kebetulan kk mau ma'em mie ayam, enak bener disana, ada baso juga, atau nasi padang tuk sayang !!!." Ajakku , lalu menggendongnya di belakang punggungku, sambil nikmat membuatnya tertawa.
"Ketuuplak ketuplak ketuplak,,,hayyaaaaa !." Jelmaan gaya suara sepatu kuda, yang kupersembahkan untuknya.
"Hahahahahahaha, kakak lucu !" Ungkapnya ,sambil tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, kami berdua menuju tempat yang membuatnya senang, dan akupun kenyang.
“Yummyyyyyyy.” Bahagia kami, dalam canda yang jarang dinikmati oleh si gadis kecil yang miskin.
Tak lama kemudian kami berjalan kearah pasar, dan di sana terlihat sepi, karena di bulan Suci Ramadhan ini, harga sembako-pun naik luar biasa. Sekitar 30% kenaikan harga sudah mulai terasa, apalagi nanti satu minggu menjelang lebaran. Tak menutup kemungkinan bias sampai 7 kali lipat dari harga yang normal. Entahlah apakah ini permainan dagang, atau permainan petinggi yang memeras rakyat kecil hingga dari harga dasar di ataspun sudah tertimang mahal sebelum sampai ke anak negeri[masyarakat biasa], terlihat suasana didalam pasar yang semakin hari semakin membuat kami menjerit. Salah satunya aku yang bergaji pas-pasan.
“Misi mas, beli cabe campur dua ribu aja !” Tanyaku , lalu mengambil uang di kantongku.
“Wah mas sudah tak bisa sekarang.” Jawab sang penjual, lalu menjelaskan kalau harga sudah naik.
”Sekarang lima ribu mas minimalnya! Itupun hanya sedikit. Tak cukup untuk membuat bumbu !” Urainya yang mengartikan harga cabe sekarang.
“Hah ,yang benar mas ! masih satu minggu puasa, sudah naik sebanyak ini!” Aku pun menjerit karena kupikir dengan harga lima ribu, bisa membeli bahan bumbu yang lain.
“Ya ampun, aku tersiksa.!” Suara jerit sang ibu di sebelahku.
“Kok mahal banget sih ! heran , bukan-nya tambah murah malah tambah mahal, gimana saya mau mudik ini, ongkospun pasti mahal ! berkali-kali lipat buat ter-antar sampai ke kampung halaman.” Jerit Seorang Ibu yang kukira dia mengeluh atas melonjaknya harga di bulan Suci Ramadhan.
Akupun hanya mengukir tengah,
bersudut adu setengah usul,
saat berandanya terbuka, Disitulah tenggala baik, mengusir penat bayang kita.
Tingkrak tirakat, saat kaki terlipat lama mengetuk bunyi,
memilih warnanya.
memilih warnanya.
Atau suara murni dari saff hati yang tercuat belanga.
Waktu yang begitu lama sekalipun tulang belulang tak akan siap lagi menerima raga.
Serpihan kasih-Nya tetesan murni tirai waktu yang menundukkan wajah.
jitu tindakan ucap bisikan pasirnya tertuang,
sepaut selisih pandang,terpatut renungan saat menimbang.
;telah banyak tangga menuju langit-Nya
hanyalah rerimbunan yang tak cukup menampung embun.
sepertinya,
hanyalah talang-talang kayu tak mampu menampungnya hari.
tersadar akan lembabnya bingung,
menggerogoti kelapukan dahan kuat yang semakin lemah.
“Entahlah jika Negeri kalah, Jerit Anak Negeri akan semakin lama merintih !.”
Dan baiklah ! akupun hendak, menumbuk padi yang masih gabah, lalu menanaknya dengan nikmat serta kasih-Nya. Walau Anak Negeri, seharusnya tak sederita ini menimang pahitnya. Dan tapi!, adalah Angin yang membuatnya meregut tanya, atas kilau-kilau yang sesaat mampir di bibir bumi. Tak bisa dibilang apa ? Difikirnya, zaman itu kelambu singgah perjalanan kaki, suara hati Anak negeri yang terlalu mengalah dengan Zamannya.
Sepertinya, hanyalah rerimbunan yang tak cukup menampung embun.
sepertinya,
hanyalah talang-talang kayu tak mampu menampungnya hari.
tersadar akan lembabnya bingung,
menggerogoti kelapukan dahan kuat yang semakin lemah.
“Entahlah jika Negeri kalah, Jerit Anak Negeri akan semakin lama merintih !.”
0 comments:
Post a Comment